KEBIJAKAN PEMBATASAN BIBIT
AYAM
Oleh : Muhammad Misbachul
Munir, S.Pt., M.M.
(April 2015)
Sikap
dengan sengaja menurunkan populasi DOC di saat harga rendah adalah tindakan
yang kurang tepat, berikut analisanya
PEMAHAMAN PASAR INDUSTRI AYAM PEDAGING
Industri ayam pedaging masuk
dalam pasar Oligopoli. Perusahaan dalam
industri-industri seperti ini memiliki pesaing-pesaing, tetapi pada saat yang
bersamaan tidak harus menghadapi kompetisi sehingga mereka menjadi price taker. Kaum ekonom menyebut sebagai kompetisi tidak
sempurna.
Oligopoli memiliki struktur pasar
dimana hanya terdapat sedikit penjual, masing-masing menjual barang yang sama
atau identik dengan yang lain.
Masing-masing perusahaan dapat membentuk persetujuan harga disebut Kolusi (Clollusion), dan perusahaan perusahaan yang bergerak dalam
keseragaman disebut Kartel (Cartel). Jika suatu kartel terbentuk, maka pasar pada
dasarnya dilayani oleh suatu monopoli. Tindakan
semacam ini seringkali tidak mungkin dilakukan, karena adanya undang-undang antitrust.
Suatu kartel harus sepaham
mengenai jumlah produksi total dan juga jumlah produksi masing-masing anggotanya. Tentu masing-masing anggota kartel
mengiginkan keuntungan sama dengan anggota yang lain. Pertikaian diantara para
anggota kartel mengenai pembagian keuntungan pasar seringkali membuat mereka
tidak bisa bersatu. Semua anggota
mengejar kepentingan masing-masing, hasil monopoli tidak bisa diraih dan
keuntungan maksimal tidak akan bisa dicapai.
Masing-masing berinteraksi dengan memilih strategi terbaik mereka dan dengan
mempertimbangkan strategi yang dipilih oleh pihak lain hingga mencapai
keseimbangan yang disebut Nash
equilibrium.
Suatu contoh yang patut diperhatikan dalam memahami
pasar Oligopoli adalah kartel dari produsen-produsen minyak dunia yang membentuk
OPEC. Organisasi ini mencoba untuk
meningkatkan harga minyak tetap tinggi dengan mengurangi produksi minyak yang
diproduksi. OPEC mencoba mengatur
tingkat produksi setiap negara anggotanya.
OPEC sukses mengendalikan harga dari tahun 1973 sampai dengan 1985. Tetapi pada awal 1980-an negara-negara
anggotanya mulai berselisih paham mengenai tingkat produksi, sehingga OPEC
tidak efektif lagi. Sementara itu, kurangnya
kerjasama antar negara penghasil minyak
ini menyebabkan mereka mengalami kerugian (Mankiw, 2006).
Hal ini dapat dijelaskan dengan
metrik berikut ini :
Ketika
kartel mencoba untuk mempertahankan harga tetap pada posisi 4,0 satuan, dengan
anggapan titik keseimbangan permintaan dan penawaran pada Q 93 satuan. Maka
persusahaan A hanya akan memproduksi 17 satuan, sedangkan perusahaan D adalah
32 satuan. Tentu perusahaan A
berkeinginan untuk memproduksi seperti perusahaan D. Oleh karena itu kebijakan pembatasan kuota
produksi DOC yang sudah berlaku puluhan tahun ini tidak akan efektif.
SEBUAH KASUS PELANGGARAN UNDANG-UNDANG ANTITRUSH
Sumber : (Mankiw, 2006).
MENGAPA BERTAHUN TAHUN HARUS MENGURANGI PRODUKSI DOC BROILER
Marilah kita cermati data jumlah Perusahaan
Peternakan Unggas dan Populasi ternak.
Dari data terlihat bahwa jumlah Peternakan Perorangan semakin menurun
dari tahun 2000 bahkan tidak ada sampai tahun 2013, akan tetapi jumlah
peternakan PT/CV/Firma serta Yayasan semakin meningkat. Lalu jumlah ayam ras pedaging terus meningkat
dari tahun ke tahun. Padahal dalam
kenyataanya pemerintah beserta organisasi peternakan sering dan bahkan selalu
melakukan pembatasan jumlah populasi unggas, terutama Broiler.
Mari kita baca lebih teliti,
mengapa peternak perorangan justru menghilang mulai tahun 2008?, dan mengapa
jumlah peternakan PT/CV/Firma dan Yayasan semakin berkembang.
Dari data tersebut di atas saja
kita sudah tahu, bahwa “apakah benar kita sudah melakukan pembatasan jumlah
ayam broiler?”. Jawabannya tentu pada
data statistik tersebut di atas.
Ternyata kita tidak sedang mengurangi populasi dan tidak bisa mengurangi
populasi.
Apa yang semestinya dilakukan. Jawabnnya
adalah meningkatkan permintaan DOC dengan menggeser kurva permintaan D1
ke D2, agar penawaran meningkat dari Q1 menjadi Q2, dengan demikian akan
meningkatkan harga dari P1 ke P2.
Pertanyaan berikutnya, bagaimana
menggeser kurve permintaan DOC dari D1 ke D2.
Secara teoritis adalah dengan peningkatan pendapatan, harapan dan
jumlah pembeli.
Dengan menghubungkan data
statistik “Dirjen Peternakan”sebenarnya kita segera tahu bahwa ribuan peternak
dari tahun 2000 sudah tidak terdaftar lagi sejak tahun 2008, tetapi tumbuh dan berkembang
PT/CV/Firma serta Yayasan. Meskipun
jumlah perusahaan ini sedikit, ternyata mampu menyerap sejumlah populasi yang
selalu meningkat dari tahun ke tahun. Jadi untuk menaikkan harga, kartel ataupun
pengambil keputusan harus meningkatkan jumlah permintaan. Dengan kata lain adalah meningkatkan jumlah
peternak. Bukan melalui pengurangan
populasi ternak seperti saat ini.
Jika
kartel atau pengambil keputusan (pemerintah) lebih memilih pengurangan populasi DOC
dari Q1 ke Q2, memang akan menggeser (menaikkan harga dari P1 ke P2), tapi
mengakibatkan penawaran akan menurun dari S1 ke S2. Artinya akan mengurangi produksi perusahaan
hulu. Karena sesuai dengan law of diminishing return perusahaan “Breeding” skala kecil akan tidak efisien,
akibatnya akan gulung tikar, dan sebaliknya bagi perusahan “Breeding” skala
besar yang lebih efisien akan tetap bertahan.
Disamping itu, apakah tindakan
seperti ini tidak tergolong dalam upaya dari kartel perusahaan “Breeder”
menjadi sebuah usaha yang monopoli?.
Jika ini benar, maka hal ini bertentangan dengan undang-undang antitrust.
Selanjutnya, apabila jumlah
populasi ternak ayam bergeser turun atas kebijakan penurunan populasi DOC dalam
jangka panjang tentu akan menurunkan persediaan protein hewani asal daging ayam. Artinya Indonesia akan kalah dengan
bangsa-bangsa lain sebagaimana tersebut pada tabel di bawah ini :
Sumber :
http://www.slideshare.net/fransiscuswelirang.com/prospek-bisnis-unggas-ke-depan
Sumber :
http://i1.wp.com/duniaindustri.com/wp-content/uploads/2015/09/ayam-malindo.jpg
Dan juga akan menggalkan “Rencana
Aksi Nasional Pangan Dan Gizi 2011 – 2015” dari “Kementrian Perencaan
Pembangunan Nasional”.
Dalam jangka pendek, upaya
penurunan populasi DOC dari Q1 ke Q2 akan menguntungkan pihak-pihak
tertentu. Sebagai gambaran adalah :
Jika kartel beserta pemerintah
tetap menurunkan jumlah produksi DOC secara parsial dari Q1 ke Q2 dalam
jangka waktu tertentu, maka akan memberikan dampak pada harga ayam pada jangka
waktu tertentu pula. Bukankah DOC untuk
menjadi daging layak konsumsi perlu waktu minimal 28 hari?. Untuk memperjelas, mari kita telaah kurve di
bawah ini :
1). Anggap
saja keseimbangan harga DOC semula terjadi pada Q1 (2,5 satuan) dengan harga P1
(23 satuan). Permintaan tinggi pada Q1
ini terkait dengan jumlah kandang yang belum terisi.
2). Karena
jumlah kandang seluruh indonesia hanya itu itu saja, maka pada saat semua
kandang sudah banyak yang terisi – permintaan DOC akan menurun dari Q1 (2,5
satuan) ke Q2 (1,5 satuan). Karena itu,
harga terpengaruh turun dari P1 menjadi P2.
3). Ketika
semua pelaku bisnis tahu bahwa harga DOC turun, maka kartel industri bisnis
ayam broiler berupaya untuk menaikkan kembali harga DOC ke tingkat yang normal
(anggap saja kembali pada P1). Jika
jalan yang ditawarkan adalah mengurangi populasi DOC dari Q1 ke Q2, maka harga
DOC tetap saja pada posisi P2, karena memang permintaan pada posisi Q2.
4). Jika
pada evaluasi “penurunan populasi DOC” dari Q1 ke Q2 tidak mengubah harga DOC
ke P2, lalu akan terus dilakukan upaya penurunan populasi lagi pada posisi Q3
misalnya, maka dampaknya dapat dilihat pada kurve di bawah ini :
5). Pada
keadaan jumlah DOC Q2 saja, maka populasi ayam akan berkurang. Apabila permintaan akan daging ayam tetap
(D1-ayam), maka seharusnya memerlukan jumlah populasi ayam Q1-ayam dengan harga
P1-ayam.
6). Karena
jumlah DOC menurun sampai level anggaplah Q2 saja, maka suatu saat jumlah
populasi ayam – sama dengan populasi DOC (jika daya hidup 100%).
7). Karena
populasi ayam pada posisi Q2-ayam akibat penawaran bergerak dari S1 turun ke
S2, maka harga ayam akan meningkat dari P1-ayam ke P2-ayam.
8). Dengan
demikian, untuk memenuhi permintaan pasar daging ayam masih memerlukan tambahan
sebesar segitiga yang diarsir. Cara yang
akan ditempuh pemerintah adalah import daging ayam.
9). Yang
paling realistis adalah membeli ayam selagi harga rendah, lalu disimpan dalam
keadaan beku di Cold Storage. Kemudian
untuk memasok kekurangan suplay tersebut ketika harga P2-ayam.
10). Mengapa
lebih menguntungkan membeli ayam ketika harga DOC rendah?. Karena ketika harga DOC rendah – harga ayam
panen (1-1,2 Kg) juga rendah. Hal ini
dapat dibuktikan dengan hasil analisa statistik dari data Mei 2009 -
Agustus 2011 sebagai berikut :
Keterangan :
Sumberdata : Pinsar Unggas Nasional tahun 2009 – 2011
Jadi, amat sangat
menguntungkan membeli ayam (panen) ketika harga DOC rendah.
11). Setelah
panen, tentu kandang perlu diisi ayam kembali.
Pada saat itulah kebutuhan akan meningkat dengan sendirinya dan
menggeser kurva permintaan dari D2 ke D1.
Dampaknya adalah meningkatkan harga dari P2 ke P1 kembali.
Jadi, sikap dengan sengaja
menurunkan populasi DOC di saat harga rendah adalah tindakan yang kurang
tepat. Jika harga rendah, tentu
penawaran dengan sendirinya menurun dari S1 ke S2 (tanpa harus diturunkan )
sampai mencapai titik keseimbangan sendiri (Q3).
Permintaan DOC pada level Q3, mengakibatkan
penawaran dari pihak perusahaan akan menurun secara alami. Dalam kondisi semacam ini perusahaan-perusahaan
dengan skala kecil tidak akan mampu bertahan.
Jika hal ini tetap saja dilakukan maka akan mempercepat proses gulung
tikar pada industri “Breeder” skala kecil.
Jika jumlah Breeder berkurang,
maka suplay DOC akan menurun dan suplay ayam broiler pun menurun. Akhirnya akan menurunkan konsumsi protein
asal hewani. Jika bangsa kita memiliki
asupan protein menurun maka kemungkinan besar kita memiki sumber daya dengan
kemampuan yang rendah.
Mantap
BalasHapus