Sabtu, 19 September 2015

DAMPAK PEMBATASAN PRODUKSI DOC

Oleh : Muhammad Misbachul Munir
19 September 2015

Secara singkat, dapak posisif dari pembatasan DOC Broiler adalah :
1. Harga DOC akan terkendali dalam sesaat
2. Perusahaan pembibit akan mengalami kepastian harga DOC jualnya.
3. Perusahaan pembibit yang besar akan tetap besar   

Sedangkan dampak negatif adalah :
1. Perusahaan pembibitan ayam sekala kecil akan gulung tikar
2. Rencana Aksi Nasional Pangan Dan Gizi 2011 – 2015 terganggu
3. Harga pakan ayam akan meningkat
4. Dalam jangka waktu tertentu akan ada stok bahan baku pakan terlalu lama
5. Point 4, akan memicu penyakit unggas yang tidak diketahui penyebabnya
6. Point 4, juga akan meningkatkan kompalin kualitas DOC
7. Produksi daging dalam negeri akan turun akibat pembatasan DOC dan point 5.
8. Pemotongan produksi terlampau besar pada perusahaan besar dalam 
    jangka pendek berdampak pada pendapatan perusahaan yang rendah.
9. Pemegang saham perusahaan pembibitan akan melepas sahamnya, 
    sehubungan poin 8. 

Baca blog berikut ini :

PEMBATASAN PRODUKSI DOC BROILER

dan

MENJAGA DAN MENINGKATKAN SISTIM KEKEBALAN TUBUH AYAM BROILER MELALUI MANAJEMEN PAKAN


Siapa yang akan diuntungkan dalam pembatasan produksi DOC ini :
1. Perusahaan pembibitan sekala besar
2. Importir daging
3. Investor asing (karena nilai tukar rupiah rendah)

Mengutip pernyataan pembicara Mr Gordon Butland, konsultan perunggasan internasional pada ISeminar Perunggasan ke-8  ASOHI

"Hal penting yang dikemukakan adalah Brazil dan Thailand saat ini giat mengekspor produk unggasnya. Selain itu akan banyak perusahaan asing menjadikan India, Indonesia, China, dan negara di bagian Asia untuk target pasar ekspor." 

PEMBATASAN PRODUKSI DOC BROILER

KEBIJAKAN PEMBATASAN BIBIT AYAM
Oleh : Muhammad Misbachul Munir, S.Pt., M.M.
(April 2015)

Sikap dengan sengaja menurunkan populasi DOC di saat harga rendah adalah tindakan yang kurang tepat, berikut analisanya


PEMAHAMAN PASAR INDUSTRI AYAM PEDAGING

Industri ayam pedaging masuk dalam pasar Oligopoli.  Perusahaan dalam industri-industri seperti ini memiliki pesaing-pesaing, tetapi pada saat yang bersamaan tidak harus menghadapi kompetisi sehingga mereka menjadi price taker.  Kaum ekonom menyebut sebagai kompetisi tidak sempurna.

Oligopoli memiliki struktur pasar dimana hanya terdapat sedikit penjual, masing-masing menjual barang yang sama atau identik dengan yang lain.  Masing-masing perusahaan dapat membentuk persetujuan harga disebut Kolusi (Clollusion), dan perusahaan perusahaan yang bergerak dalam keseragaman  disebut Kartel (Cartel).  Jika suatu kartel terbentuk, maka pasar pada dasarnya dilayani oleh suatu monopoli.  Tindakan semacam ini seringkali tidak mungkin dilakukan, karena adanya undang-undang antitrust.
Suatu kartel harus sepaham mengenai jumlah produksi total dan juga jumlah produksi masing-masing anggotanya.  Tentu masing-masing anggota kartel mengiginkan keuntungan sama dengan anggota yang lain. Pertikaian diantara para anggota kartel mengenai pembagian keuntungan pasar seringkali membuat mereka tidak bisa bersatu.  Semua anggota mengejar kepentingan masing-masing, hasil monopoli tidak bisa diraih dan keuntungan maksimal tidak akan bisa dicapai.  Masing-masing berinteraksi dengan memilih strategi terbaik mereka dan dengan mempertimbangkan strategi yang dipilih oleh pihak lain hingga mencapai keseimbangan yang disebut Nash equilibrium.

Suatu contoh yang patut diperhatikan dalam memahami pasar Oligopoli adalah kartel dari produsen-produsen minyak dunia yang membentuk OPEC.  Organisasi ini mencoba untuk meningkatkan harga minyak tetap tinggi dengan mengurangi produksi minyak yang diproduksi.  OPEC mencoba mengatur tingkat produksi setiap negara anggotanya.  OPEC sukses mengendalikan harga dari tahun 1973 sampai dengan 1985.  Tetapi pada awal 1980-an negara-negara anggotanya mulai berselisih paham mengenai tingkat produksi, sehingga OPEC tidak efektif lagi.  Sementara itu, kurangnya kerjasama  antar negara penghasil minyak ini menyebabkan mereka mengalami kerugian (Mankiw, 2006).  

Hal ini dapat dijelaskan dengan metrik berikut ini :

Ketika kartel mencoba untuk mempertahankan harga tetap pada posisi 4,0 satuan, dengan anggapan titik keseimbangan permintaan dan penawaran pada Q 93 satuan. Maka persusahaan A hanya akan memproduksi 17 satuan, sedangkan perusahaan D adalah 32 satuan.  Tentu perusahaan A berkeinginan untuk memproduksi seperti perusahaan D.  Oleh karena itu kebijakan pembatasan kuota produksi DOC yang sudah berlaku puluhan tahun ini tidak akan efektif.

SEBUAH KASUS PELANGGARAN UNDANG-UNDANG ANTITRUSH
Sumber : (Mankiw, 2006). 

MENGAPA BERTAHUN TAHUN HARUS MENGURANGI PRODUKSI DOC BROILER

Marilah kita cermati data jumlah Perusahaan Peternakan Unggas dan Populasi ternak.  Dari data terlihat bahwa jumlah Peternakan Perorangan semakin menurun dari tahun 2000 bahkan tidak ada sampai tahun 2013, akan tetapi jumlah peternakan PT/CV/Firma serta Yayasan semakin meningkat.  Lalu jumlah ayam ras pedaging terus meningkat dari tahun ke tahun.  Padahal dalam kenyataanya pemerintah beserta organisasi peternakan sering dan bahkan selalu melakukan pembatasan jumlah populasi unggas, terutama Broiler. 

Mari kita baca lebih teliti, mengapa peternak perorangan justru menghilang mulai tahun 2008?, dan mengapa jumlah peternakan PT/CV/Firma dan Yayasan semakin berkembang.

Dari data tersebut di atas saja kita sudah tahu, bahwa “apakah benar kita sudah melakukan pembatasan jumlah ayam broiler?”.  Jawabannya tentu pada data statistik tersebut di atas.  Ternyata kita tidak sedang mengurangi populasi dan tidak bisa mengurangi populasi.  


Apa yang semestinya dilakukan. Jawabnnya adalah meningkatkan permintaan DOC dengan menggeser kurva permintaan D1 ke D2, agar penawaran meningkat dari Q1 menjadi Q2, dengan demikian akan meningkatkan harga dari P1 ke P2.

Pertanyaan berikutnya, bagaimana menggeser kurve permintaan DOC dari D1 ke D2.  Secara teoritis adalah dengan peningkatan pendapatan, harapan dan jumlah pembeli

Dengan menghubungkan data statistik “Dirjen Peternakan”sebenarnya kita segera tahu bahwa ribuan peternak dari tahun 2000 sudah tidak terdaftar lagi sejak tahun 2008, tetapi tumbuh dan berkembang PT/CV/Firma serta Yayasan.  Meskipun jumlah perusahaan ini sedikit, ternyata mampu menyerap sejumlah populasi yang selalu meningkat dari tahun ke tahun.  Jadi untuk menaikkan harga, kartel ataupun pengambil keputusan harus meningkatkan jumlah permintaan.  Dengan kata lain adalah meningkatkan jumlah peternak.  Bukan melalui pengurangan populasi ternak seperti saat ini. 


Jika kartel atau pengambil keputusan (pemerintah) lebih memilih pengurangan populasi DOC dari Q1 ke Q2, memang akan menggeser (menaikkan harga dari P1 ke P2), tapi mengakibatkan penawaran akan menurun dari S1 ke S2.  Artinya akan mengurangi produksi perusahaan hulu.  Karena sesuai dengan law of diminishing return perusahaan “Breeding” skala kecil akan tidak efisien, akibatnya akan gulung tikar, dan sebaliknya bagi perusahan “Breeding” skala besar yang lebih efisien akan tetap bertahan.  

Disamping itu, apakah tindakan seperti ini tidak tergolong dalam upaya dari kartel perusahaan “Breeder” menjadi sebuah usaha yang monopoli?.  Jika ini benar, maka hal ini bertentangan dengan undang-undang antitrust.

Selanjutnya, apabila jumlah populasi ternak ayam bergeser turun atas kebijakan penurunan populasi DOC dalam jangka panjang tentu akan menurunkan persediaan protein hewani asal daging ayam.  Artinya Indonesia akan kalah dengan bangsa-bangsa lain sebagaimana tersebut pada tabel di bawah ini :

Sumber : http://www.slideshare.net/fransiscuswelirang.com/prospek-bisnis-unggas-ke-depan

Sumber : http://i1.wp.com/duniaindustri.com/wp-content/uploads/2015/09/ayam-malindo.jpg

Dan juga akan menggalkan “Rencana Aksi Nasional Pangan Dan Gizi 2011 – 2015” dari “Kementrian Perencaan Pembangunan Nasional”.

Dalam jangka pendek, upaya penurunan populasi DOC dari Q1 ke Q2 akan menguntungkan pihak-pihak tertentu.  Sebagai gambaran adalah :

Jika kartel beserta pemerintah tetap menurunkan jumlah produksi DOC secara parsial dari Q1 ke Q2 dalam jangka waktu tertentu, maka akan memberikan dampak pada harga ayam pada jangka waktu tertentu pula.   Bukankah DOC untuk menjadi daging layak konsumsi perlu waktu minimal 28 hari?.  Untuk memperjelas, mari kita telaah kurve di bawah ini :

1). Anggap saja keseimbangan harga DOC semula terjadi pada Q1 (2,5 satuan) dengan harga P1 (23 satuan).  Permintaan tinggi pada Q1 ini terkait dengan jumlah kandang yang belum terisi.


  2). Karena jumlah kandang seluruh indonesia hanya itu itu saja, maka pada saat semua kandang sudah banyak yang terisi – permintaan DOC akan menurun dari Q1 (2,5 satuan) ke Q2 (1,5 satuan).  Karena itu, harga terpengaruh turun dari P1 menjadi P2.

   3). Ketika semua pelaku bisnis tahu bahwa harga DOC turun, maka kartel industri bisnis ayam broiler berupaya untuk menaikkan kembali harga DOC ke tingkat yang normal (anggap saja kembali pada P1).  Jika jalan yang ditawarkan adalah mengurangi populasi DOC dari Q1 ke Q2, maka harga DOC tetap saja pada posisi P2, karena memang permintaan pada posisi Q2. 
   
  4). Jika pada evaluasi “penurunan populasi DOC” dari Q1 ke Q2 tidak mengubah harga DOC ke P2, lalu akan terus dilakukan upaya penurunan populasi lagi pada posisi Q3 misalnya, maka dampaknya dapat dilihat pada kurve di bawah ini :



   5). Pada keadaan jumlah DOC Q2 saja, maka populasi ayam akan berkurang.  Apabila permintaan akan daging ayam tetap (D1-ayam), maka seharusnya memerlukan jumlah populasi ayam Q1-ayam dengan harga P1-ayam.


   6). Karena jumlah DOC menurun sampai level anggaplah Q2 saja, maka suatu saat jumlah populasi ayam – sama dengan populasi DOC (jika daya hidup 100%).  

   7). Karena populasi ayam pada posisi Q2-ayam akibat penawaran bergerak dari S1 turun ke S2, maka harga ayam akan meningkat dari P1-ayam ke P2-ayam.

  8). Dengan demikian, untuk memenuhi permintaan pasar daging ayam masih memerlukan tambahan sebesar segitiga yang diarsir.  Cara yang akan ditempuh pemerintah adalah import daging ayam.


    9). Yang paling realistis adalah membeli ayam selagi harga rendah, lalu disimpan dalam keadaan beku di Cold Storage.  Kemudian untuk memasok kekurangan suplay tersebut ketika harga P2-ayam.

  10). Mengapa lebih menguntungkan membeli ayam ketika harga DOC rendah?.  Karena ketika harga DOC rendah – harga ayam panen (1-1,2 Kg) juga rendah.  Hal ini dapat dibuktikan dengan hasil analisa statistik dari data Mei 2009  -  Agustus 2011 sebagai berikut :
Keterangan :
Sumberdata :  Pinsar Unggas Nasional tahun 2009 – 2011

Jadi, amat sangat menguntungkan membeli ayam (panen) ketika harga DOC rendah.

11). Setelah panen, tentu kandang perlu diisi ayam kembali.  Pada saat itulah kebutuhan akan meningkat dengan sendirinya dan menggeser kurva permintaan dari D2 ke D1.  Dampaknya adalah meningkatkan harga dari P2 ke P1 kembali. 

Jadi, sikap dengan sengaja menurunkan populasi DOC di saat harga rendah adalah tindakan yang kurang tepat.  Jika harga rendah, tentu penawaran dengan sendirinya menurun dari S1 ke S2 (tanpa harus diturunkan ) sampai mencapai titik keseimbangan sendiri (Q3).


Permintaan DOC pada level Q3, mengakibatkan penawaran dari pihak perusahaan akan menurun secara alami.  Dalam kondisi semacam ini perusahaan-perusahaan dengan skala kecil tidak akan mampu bertahan.  Jika hal ini tetap saja dilakukan maka akan mempercepat proses gulung tikar pada industri “Breeder” skala kecil.

Jika jumlah Breeder berkurang, maka suplay DOC akan menurun dan suplay ayam broiler pun menurun.  Akhirnya akan menurunkan konsumsi protein asal hewani.  Jika bangsa kita memiliki asupan protein menurun maka kemungkinan besar kita memiki sumber daya dengan kemampuan yang rendah.